LEBIH BAIK MATI
Oleh: Nusa Putra
Lebih baik mati! Hidup juga udah gak guna!
Ungkapan ini dilontarkan seorang remaja putra dengan sangat
emosi sampai-sampai suaranya terdengar bergetar. Ungkapan itu terdengar tidak
elok, bahkan mungkin tidak pantas. Tabu, pantangatau pamali. Mengejutkan. Boleh
jadi si remaja itu letih, sangat letih atau mulai putus asa, frustrasi.
Sudah lebih dari sebulan ia menunggui ayahnya yang terbujur tak
berdaya di ruang ICU. Ia bungsu dan satu-satunya lelaki. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus menemani
ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Mereka tidur di sebuah
ruang kecil yang memang disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di ruang
ICU.
Pastilah tidak menyenangkan tidur di ubin beralaskan karpet
dan kasur tipis. Meski ber AC, ruangan itu agak panas karena terlalu banyak
manusia di dalamnya. Hanya keluarga mereka yang menunggu berdua. Keluarga lain
ada yang sampai empat orang menunggu di situ.
Pagi sekali ia harus pulang mengendarai motor sendiri agar tidak
terlambat sampai di sekolah. Jarak dari rumah sakit ke rumahnya bisa ditempuh
satu setengah jam bila tidak macet. Sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah.
Mungkin, karena sudah lebih dari sebulan, ia mulai merasa penat.
Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus menjalani hidup yang sama sekali
berbeda. Apalagi jika memerhatikan ayahnya di ruang ICU dari balik kaca. Ia
merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali tidak mengerti.
Mengapa ayahnya yang begitu baik, dermawan, sangat peduli
terhadap orang miskin, rajin beribadah harus terbujur kaku tak berdaya di ruang
yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak bagian tubuh ayahnya.
Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri hati, koruptor,
pemerkosa anak-anak berkeliaran dalam keadaan sehat di luar sana. Mengapa bukan
mereka yang terbujur di sini sebagai balasan atas kejahatannya?
Ia sekeluarga memang sama sekali tidak siap dan sangat kaget
serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat tiba-tiba ini. Ayahnya tidak
mengidap penyakit berbahaya seperti jantung, diabetes, darah tinggi atau
gangguan organ serius. Ayahnya sehat-sehat saja.
Semua ini bermula akibat pengemudi truk bejat menyetir dalam
keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak oleh truk yang ugal-ugalan. Supir
ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma sampai hari ini. Sang
sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda dengan kaki dan tangan
patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi.
Karena keadaan ayahnya semakin memburuk, sudah tiga kali
dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan seluruh keluarga ayahnya.
Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua peralatan yang disambungkan ke
tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan membiarkan ayahnya diperlakukan
seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak keberatan.
Tetapi ibunya belum ikhlas melepas ayahnya. Ia berpikir, mungkin
ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya masih bertahan. Ibunya percaya,
manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah. Ia dapat menerima penolakan
ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini, suara terbanyak bukanlah
penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa, pikirnya.
Namun, belakangan ia mulai berpikir bahwa lebih baik ayahnya
wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak menyayangi dan mencintai
ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa ayahnya mengalami cedera
sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa berfungsi normal kembali.
Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya benar-benar mengalami kerusakan
fatal.
Ia mencari berbagai informasi di Google tentang cedera otak.
Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah tak lagi bisa berfungsi
sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti menghabiskan uang. Mereka
sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki toko di Tanah Abang dan
beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya akan tersedot habis.
Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya? Bukankah keluarga ini
harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?
Ungkapan lebih baik mati, hidup juga gak guna, terasa tidak
sopan, sarkas atau kasar, boleh jadi menggambarkan keputusasaan. Namun dalam
konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian artinya. Kala manusia menghadapi
pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai pastilah tidak sama dengan keadaan
normal.
Menghadapi situasi seperti ini memang sangat problematis.
Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan menghayati spiritualitas. Di
beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang membolehkan manusia disuntik
untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah persyaratan, agar tidak terlalu
lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu adalah hak asasi manusia.
Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak didasarkan pada iman atau
spiritualitas memang sederhana. Sesederhana matematika duniawi. Tiga dikurang
satu pasti dua. Tidak demikian halnya dengan matematika yang didasarkan pada
iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila Anda memiliki uang seribu rupiah
dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas kepada orang yang pantas
menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus sebagaimana yang diajarkan
matematika duniawi.
Tetapi matematika yang didasarkan pada iman menegaskan, Allah
pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat. Ini garansi dari Allah.
Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak selalu dalam bentuk uang.
Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk lainnya.
Begitupun manghadapi kematian. Secara rasional benar adanya
bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak, apalagi parah pasti tidak lagi
dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena itu untuk apa dipertahankan
tetap hidup?
Ini bukan sekadar soal apakah manusia masih bisa berfungsi lagi
atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa sembuh lagi atau tidak. Ini soal siapa
yang menentukan kematian.
Mengapa ada orang yang menderita begitu lama sebelum akhirnya
wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran rasional memang tidak memiliki
kemampuan untuk memahaminya secara mendalam. Menghadapi situasi ini dibutuhkan
penalaran spiritual.
Penentunya adalah keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Agama mengajarkan, penderitaan yang dialami oleh manusia sebelum
wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan, penderitaan mereka yang
diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain, memiliki makna di
hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah sebabnya suntik
mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita sekalipun oleh aturan
agama.
Kematian memang memiliki makna yang tak menyenangkan. Kematian
lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya ditinggalkan oleh orang yang
dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi terbaik. Bila si ayah yang telah
lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah merupakan solusi bagi penderitaan
keluarga ini.
Meskipun tetap akan dihadapi dan dialami dengan kesedihan
mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara halus diungkapkan dengan
cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan yang terbaik baginya.
Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi
Allah lebih mencintainya. Ungkapan yang membuat semua yang terlibat dalam
kesedihan merasa lebih lega dan enteng.
Kematian sebagai solusi juga bisa dialami oleh negara. Pada
negara-negara komunis yang dengan sengaja mentradisikan kultus individu,
seringkali kematian merupakan solusi terbaik untuk mengatasi konflik dan
membuat negara menjadi stabil.
Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan kurang berfungsi, ia tetap
jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama dalam lingkar dalam kekuasaan
tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap berada dan memertahankan
kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar di negara-negara
komunis.
Sementara pemimpin besar semakin dipunukkan penyakit parah,
berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang membuat negara menjadi tidak
stabil. Ketegangan bisa berkepanjangan bila sang pemimpin besar tidak pernah
muncul ke publik.
Berbagai kelompok kepentingan bahkan bisa secara langsung
berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala akhirnya
si pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan bisa
dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa Mao
dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim Il sung dan Kim Jong
Il. Cuba juga mengalaminya.
Kematian kadang merupakan solusi terbaik untuk sejumlah masalah
yang dihadapi keluarga bahkan negara.
Meski begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa
penentu kematian adalah Allah.
KEMATIAN KADANG MENJADI PROBLEMATIS.